KUNINGAN – Maraknya pembangunan di Kabupaten Kuningan seharusnya dikendalikan. Khususnya pembangunan industri skala besar yang cenderung menyimpang dari tujuan pembangunan didalam Blueprint (cetak biru) yang sudah disepakati bersama bahwa Kabupaten Kuningan adalah kabupaten konservasi berbasis pertanian dan pariwisata yang berdaya saing, seperti tertuang dalam Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan nomor 26 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kuningan 2011 – 2031.
Rencana Tata Ruang Wilayah sebagai sebuah kebijakan yang memuat pedoman pelaksanaan, tindakan dan larangan dibuat untuk menjamin agar proses pembangunan dapat terarah sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Parahnya saat ini pembangunan di Kabupaten Kuningan terjadi penyimpangan dari haluan dan kebablasan keluar dari konsep perencanaan awal tentang penataan ruang. Ironisnya Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan sampai hari ini belum juga melakukan review tentang kebijakan tata ruang daerah apalagi membuat rencana detailnya.
Seperti halnya disampaikan Ketua LSM Frontal, Uha Juhana bahwa masuknya beberapa industri besar yang sudah berinvestasi di Kabupaten Kuningan ternyata telah mencederai komitmen dari Pemerintah Daerah itu sendiri yang sudah tertuang dalam Blueprint rencana Pembangunan Kabupaten Kuningan 2011-2031.
Disebutkan Uha, dalam isi pasal 47 Perda nomor 26 Tahun 2011 menyatakan bahwa industri yang boleh berinvestasi adalah industri kecil, mikro dan menengah yang mengolah hasil pertanian dan kehutanan serta industri rumah tangga yang tersebar di beberapa kecamatan bukan industri besar.
“Sehingga tidak aneh apabila publik dikejutkan dengan adanya sejumlah pejabat Kabupaten Kuningan yang diperiksa oleh Polda Jabar dalam beberapa waktu terakhir yang dipanggil untuk memenuhi Undangan Wawancara Klarifikasi Perkara termasuk kepada para pejabat yang telah pensiun oleh penyelidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jabar dalam kasus adanya dugaan tindak pidana di bidang penataan ruang terkait diterbitkannya surat rekom perizinan pembangunan Hotel Santika Premiere Kuningan oleh Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah (TKPRD) yang berlokasi di Kawasan Objek Wisata Linggajati, tepatnya di Desa Bojong Kecamatan Cilimus,” jelas Uha
Pembangunan Hotel Santika Premiere Kuningan, bagi Uha, menyisakan dugaan masalah hukum terkait dugaan perizinan pengeboran dan pemanfaatan air bawah tanah untuk kolam renang dan adanya perluasan wilayah melebihi denah yang telah diajukan kepada TKPRD.
“Apalagi diduga juga melanggar keras Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Kuningan No.7 Tahun 2015 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) Kabupaten Kuningan yang mengatur mengenai perlindungan lahan pertanian dan pangan berkelanjutan serta Undang-undang Nomor 26 Tahun 2027 tentang Penataan Ruang,” ungkap Uha
Uha mendapatkan informasi bahwa beberapa pejabat Pemda Kuningan yang sudah dipanggil oleh Penyidik Tindak Pidana Tertentu (Tipiter) Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jawa Barat adalah semua para Kepala Dinas (Kadis) yang terlibat didalam tim di bawah Ketua TKPRD Kuningan, Camat Cilimus dan Kepala Desa Bojong semuanya sudah dimintai keterangan dan hanya menyisakan Ketua TKPRD saat itu yang belum dipanggil.
“Untuk tujuan kepastian hukum dan prinsip bahwa semua orang sama atau setara di depan hukum maka yang bersangkutan harus segera dipanggil juga,” kata Uha
Dikatakan Uha, pembahasan dalam TKPRD membahas tentang Rencana Pembangunan Hotel Santika Premiere dengan luas 16.374 m2 dan Rencana Pembangunan Ballroom Villa, dan Fasilitas Olahraga Fisik dan Elektronik dengan luas 20.273 m2 yang berlokasi di Desa Bojong Kecamatan Cilimus Kabupaten Kuningan, sedangkan tujuan rapat itu yaitu tersepakatinya 2 surat rekomendasi untuk permohonan tersebut.
Ironisnya meskipun surat rekomendasi telah dikeluarkan oleh Ketua TKPRD Kuningan tetapi dalam Kajian Aspek Tata Ruang menurut Peraturan Daerah Nomor 26 Tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Kuningan Tahun 2011-2031, wilayah itu termasuk Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi sehingga sangat berbahaya apabila mendirikan bangunan atau tempat hunian di daerah tersebut.
“Banyaknya penyimpangan perizinan yang terjadi karena selama ini tidak pernah ada tindakan penegakan hukum dari Aparat Penegak Hukum (APH) yang tegas dan keras dalam masalah penyimpangan penataan ruang di Kabupaten Kuningan. Ditambah lagi kuatnya kepentingan sektoral dan sesaat (dugaan adanya pemberian gratifikasi) yang tidak bisa dipungkiri telah mengakibatkan terjadinya gugatan dan masalah hukum pidana terhadap pemberian izin kegiatan pemanfaatan ruang yang sudah dikeluarkan dimasa lalu,” ungkap Uha.
Uha juga meminta para penggiat lingkungan yang ada di Kabupaten Kuningan membangun solidaritas dengan komunitas pecinta alam yang berkomitmen dalam melestarikan lingkungan dan alam, seperti organisasi Aktivis Anak Rimba (AKAR) untuk ikut bersuara vokal terhadap fenomena keluarnya izin pembangunan yang merusak ekosistem lingkungan hidup dan lahan hijau.
“Dan untuk para Penyidik dari Tipiter Polda Jabar hendaklah keadilan ditegakkan walaupun langit akan runtuh,” kata Uha. (red)